Adakah hubungan itu? Menurut saya ada, kalau tidak ada mari kita ada-adakan saja! Bukankah orang Indonesia termasuk pandai mencari jastifikasi terhadap setiap keputusan yang diambilnya?

Ini bukan mengarang-ngarang, seorang teman saya, yang bergelar Doktor, pernah mengatakan “Adalah sangat mudah mencari pembenaran, bahkan yang bersifat ilmiah sekalipun, terhadap keputusan yang diambil oleh orang yang memiliki akses terhadap kekuasaan!?”

Benarkan demikian? It’s all yours! 🙂 Mari kita kembali ke Tukul Arwana …

Kita mulai saja dari tulisan Joseph E. Stiglitz (28/4) berjudul “Ekonomi Amerika yang Terkoyak Perang” yang dimuat sebuah koran ibukota. Tulisan ini sangat menarik karena dua alasan. Pertama ditulis oleh seorang peraih nobel ekonomi dunia (tahun 2001 dan pernah menjadi Senior Vice President dari Word Bank). Kedua dipublikasikan oleh Koran Tempo. Siapa yg tdk percaya kompetensi peraih nobel dan Grup Majalah Tempo?

Intinya memaparkan blunder keputusan Bush melakukan invasi ke Irak dan pengaruhnya terhadap krisis Ekonomi Amerika Serikat dan dunia akhir-akhir ini.

Hubungannya dengan Indonesia? Tentu saja ada, paling tidak karena dua alasan (lagi-lagi!). Pertama, karena disebarluaskan kembali oleh koran Indonesia! Coba kita pikirkan apa alasan Koran Tempo mengalihbahasakan tulisan itu?

Kedua, banyak pejabat publik dan pakar Ekonomi Indonesia yang mengatakan bahwa tekanan ekonomi yang dialami oleh Indonesia saat ini (misalnya, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok masyarakat) adalah akibat pengaruh ekonomi global.

Ini belum termasuk tekanan kenaikan harga minyak dunia pada APBN yang telah membuat Pemerintah sesak nafas!

Jika kita hubungkan dengan analisis Stiglitz, terjadilah korelasi tersebut, bukan? Amerika menginvasi Irak, walaupun Sadam sudah digantung, rakyat Irak tetap melawan. Demi bisnis besar dan prestige Bush terus merangsek maju dengan segala daya dan upaya. Akibatnya ekonomi Amrik kedodoran, pada gilirannya ekonomi dunia terpengaruh. Dan … ekonomi Indonesia keseret-seret …

SBY dengan penuh percaya diri, kira-kira mengatakan, marilah kita ambil hikmahnya dari kegetiran hidup ini dengan melihat ini sebagai peluang meningkatkan kesejahteraan, disatu sisi. Dan mengecangkan ikat pinggang (yang sudah ada di lubang paling dalam!) dengan berhemat, di sisi lain…glek!

Sungguh ajakan yang sangat terpuji. Sayangnya, mungkin sudah sangat terlambat! Bukankah rakyat Indonesia sudah banyak belajar dari krisis moneter tahun 1998, 10 tahun yang lalu?

Bukankah Bapak sudah jadi presiden sejak tahun 2004? Bukankah Bapak pernah jadi Menteri Pertambangan dan Energi pada masa pemerintahan Gus Dur? Bukankah Bapak meraih gelar Doktor dalam bidang ekonomi pertanian pada tahun 2005 dari perguruan tinggi terkemuka, IPB?

Saya bukan ahli ekonomi dan saya bukan seorang Doktor. Teman saya bilang China adalah negara komunis yang sangat kapitalis (saya mungkin mengerti maksudnya! 😉 ). Disana koruptor dihukum seberat-beratnya, bukan hanya yang bersangkutan tapi anak istrinya ikut digantung!

Disana Pemerintah menghargai kerja keras, kompetensi dan kejujuran, walaupun semua usaha dibawah kendali ketat Pemerintah. Orang jujur, bekerja keras dan memiliki kompetensi sangat dihormati dan banyak yang jadi orang kaya!

Semua itu dilakukan tidak dengan himbauan tapi tindakan! Dan yang lebih penting, tidak dalam waktu yang sekejap, butuh waktu lama dan kesabaran. Teman saya yang lain mengatakan, tokoh penting yang memulainya adalah Deng Xiaoping. Apakah Deng yang memimpin China sekarang? Apakah Deng menikmati kepeloporannya?

Saya tidak habis mengerti mengapa, konsep pemblokiran situs negatif China yang ditiru (apa kabar M. Nuh dan Roy Suryo, 😉 ) sehingga search engine berbahasa China, Baidu, terus meningkat traffic-nya membuntuti Google?

Mengapa bukan kemampuan meminimasi korupsi yang ditiru? Pejabat jujur disana tidak perlu takut mengambil keputusan selama tidak melanggar rambu-rambu korupsi. Bahkan mereka boleh melakukan nepotisme, kalau itu tidak mengarah ke korupsi. Disana tidak ada istilah tidak boleh KKN, tapi ganyang korupsi!

Di Indonesia saya melihat para pejabat publik sekarang menjadi takut membuat keputusan, karena takut tiba-tiba dijebak atau digerbeg KPK! Saya tidak tahu apakah jadi takut korupsi setelah itu?!

Banyak kalangan yang mengagumi perkembangan ekonomi China beberapa tahun belakangan ini sampai Amrik dan Uni Eropa ketar-ketir. Tidak terhitung banyaknya buku beredar menceritakan rahasia sukses bisnis dan ekonomi China baik di negaranya maupun diperantauan.

Mungkin karena itu, selain belajar dari Jepang yang populer tahun 1970-1980an, kita juga perlu belajar dari China?

Dan yang lebih penting, ternyata China bukan satu-satunya. India punya cara sendiri memanfaatkan blunder Amerika. Demikian juga negara-negara Amerika Latin yang dikomandani oleh pemimpin kontroversial dari Venezuala, Hugo Chavez

Setelah tahun 1998, ini adalah kali kedua para pengambil keputusan di Indonesia diberi kesempatan untuk melakukan akselerasi peningkatan kesejahteraan rakyatnya.

Jika saja Presiden Indonesia mau melakukan semua itu bukan atas pertimbangan kemenangan di pemilu dan kebijakan yang ‘kelihatannya populis’.

Bukan atas keinginan balas budi atas balas dendam.

Bukan untuk kepentingkan mendapatkan hasil yang serba instan yang dampak positifnya hanya terjadi di masa kepemimpinannya.

Jika saja para bapak dan ibu sekalian pemegang amanah publik yang terhormat berusaha keras melakukannya dengan penuh keikhlasan demi bangsa dan negara, saya hakul yakin Indonesia akan menemukan kejayaannya.

Mungkin bukan pada masa kita masih hidup itu terjadi. Bisa masa anak, atau bahkan cucu kita.

Indonesia is (still) my beloved country, far before, now and (perhaps) the rest of my life …